Jumat, 13 Januari 2012

Kebudayaan sebagai peradaban

Saat ini, kebanyakan orang memahami gagasan
"budaya" yang dikembangkan di Eropa pada abad ke-18
dan awal abad ke-19. Gagasan tentang "budaya" ini merefleksikan
adanya ketidakseimbangan antara kekuatan Eropa dan kekuatan daerah-daerah yang
dijajahnya. Mereka menganggap 'kebudayaan' sebagai "peradaban"
sebagai lawan kata dari "alam". Menurut cara pikir ini, kebudayaan satu dengan
kebudayaan lain dapat diperbandingkan; salah satu kebudayaan pasti lebih tinggi
dari kebudayaan lainnya.


Pada prakteknya, kata kebudayaan merujuk
pada benda-benda dan aktivitas yang "elit"
seperti misalnya memakai baju yang berkelas, fine art, atau
mendengarkan musik klasik, sementara kata berkebudayaan
digunakan untuk menggambarkan orang yang mengetahui, dan mengambil bagian, dari
aktivitas-aktivitas di atas. Sebagai contoh, jika seseorang berpendendapat
bahwa musik klasik adalah musik yang "berkelas", elit, dan bercita
rasa seni, sementara musik tradisional dianggap sebagai musik yang kampungan
dan ketinggalan zaman, maka timbul anggapan bahwa ia adalah orang yang sudah
"berkebudayaan".


Orang yang menggunakan kata
"kebudayaan" dengan cara ini tidak percaya ada kebudayaan lain yang
eksis; mereka percaya bahwa kebudayaan hanya ada satu dan menjadi tolak ukur
norma dan nilai di seluruh dunia. Menurut cara pandang ini, seseorang yang
memiliki kebiasaan yang berbeda dengan mereka yang "berkebudayaan"
disebut sebagai orang yang "tidak berkebudayaan"; bukan sebagai orang
"dari kebudayaan yang lain." Orang yang "tidak
berkebudayaan" dikatakan lebih "alam," dan para pengamat
seringkali mempertahankan elemen dari kebudayaan tingkat
tinggi
(high culture) untuk menekan pemikiran "manusia alami" (human
nature
)


Sejak abad ke-18, beberapa kritik sosial telah
menerima adanya perbedaan antara berkebudayaan dan tidak berkebudayaan, tetapi
perbandingan itu -berkebudayaan dan tidak berkebudayaan- dapat menekan
interpretasi perbaikan dan interpretasi pengalaman sebagai perkembangan yang
merusak dan "tidak alami" yang mengaburkan dan menyimpangkan sifat
dasar manusia. Dalam hal ini, musik
tradisional
(yang diciptakan oleh masyarakat kelas pekerja) dianggap
mengekspresikan "jalan hidup yang alami" (natural way of life),
dan musik klasik sebagai suatu kemunduran dan kemerosotan.


Saat ini kebanyak ilmuwan sosial menolak untuk
memperbandingkan antara kebudayaan dengan alam dan konsep monadik yang pernah berlaku.
Mereka menganggap bahwa kebudayaan yang sebelumnya dianggap "tidak
elit" dan "kebudayaan elit" adalah sama - masing-masing
masyarakat memiliki kebudayaan yang tidak dapat diperbandingkan. Pengamat
sosial membedakan beberapa kebudayaan sebagai kultur populer (popular
culture
) atau pop kultur, yang berarti barang atau aktivitas yang
diproduksi dan dikonsumsi oleh banyak orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar